Senin, 19 Desember 2011

Salah

Dulu saya pikir setiap perasaan mempunyai namanya masing-masing.
Kesal, senang, marah, kecewa, bahagia, rindu dan lain sebagainya.

Dan hari ini saya salah.
Ada beberapa perasaan yang bahkan kamu tidak tahu bagaimana menamai nya.
Apalagi memaknainya.

Mungkin sedih, marah, kecewa, kaget dan entah apa lagi.

Jumat, 07 Oktober 2011

Mengulang Hari

Hal ini tidak biasa.
Menulis di pagi hari saat tirai jendela belum dibuka walau matahari sudah agak tinggi.
Saat masih banyak kertas menumpuk di meja dan menunggu untuk dibubuhkan ini-itu di atasnya.
Saat televisi ruangan yang menyiarkan acara suka cita. Berwarna-warni dan tertawa-tawa.

Saya hanya tiba-tiba teringat apa yang sudah kita jalani.
Dan mungkin apa yang kita pernah janjikan.

Entah berapa banyak sofa di berbagai kedai kopi yang kita duduki berlama-lama.
Berapa banyak cerita yang bertukar satu sama lain.
Atau mungkin tidak perlu lah Saya sebut kedai kopi.
Warung makan pinggir jalan atau warung bubur kacang hijau sebelah kost juga pernah tertumpah cerita kita kan?
Atau jalanan Jogja yang pernah kita lalui juga pernah terpercik cerita kita. Entah yang mana.

Kota mu yang pernah bertahun lamanya menjadi kota ku.
Yang ternyata hari ini mengulang tahunnya.
Ah, aku rindu.
Terlalu banyak yang aku tinggalkan di sana.
Beberapa tempat, banyak nama dan ribuan cerita.

Selasa, 04 Oktober 2011

Kosong

Aku membiarkan tempatmu kosong.
Biar saja begitu. Tak mengapa.
Mungkin suatu saat kau ingin berkunjung?
Tempat itu untukmu. Pakailah.

Senin, 03 Oktober 2011

Gagal

Saya gagal menjumpai langit senja hari ini.
Bukan enggan atau tidak mau,
tetapi memang tidak bisa.
Sebut saya sok sibuk,
tapi memang pekerjaan hadir di akhir waktu.
Di penghujung senja.

Saya batal menikmati hangatnya kopi hazelnut kesukaanku sore ini.
Hanya karena malas bergerak ke pantry kantor yang jaraknya hanya beberapa langkah.
Mungkin bukan hanya karena rasa malas,
tapi saya takut.
Takut mempercepat denyut jantung hari ini.
Yang entah kenapa berdegup terlalu cepat beberapa waktu belakangan ini.

Saya urung menyelesaikan pekerjaan saya.
Hanya karena tidak fokus untuk mengerjakannya.
Saya terlalu sibuk mengisi pikiran saya dengan entah apa.

Ah, ternyata saya banyak gagal ya?
Apakah saya masih punya waktu tidak gagal untuk bahagia?

Jumat, 16 September 2011

Rollercoaster

Banyak yang bilang bahwa hidup seperti rollercoaster, tetapi tidak bagi saya.
Saya terlalu pengecut untuk naik permainan itu.
Belum juga duduk di bangku dan mengencangkan sabuk pengaman, tetapi saya sudah ketakutan.
Terbayang sudah sensasi ketakutan bahkan sebelum saya memejamkan mata.
Sudah berteriak bahkan sebelum mulut terbuka.
Aneh memang.

Saya ingin menyamakan hiidup dengan bianglala.
Boleh kah?
Saya menyukai permainan itu. Entah mengapa.
Ada sensasi tidak menyenangkan ketika saya berada jauh di atas bumi. Dan angin menerpa wajah tanpa ampun.
Dan ada kelegaan penuh ketika memperpedek jarak dengan bumi.
Selalu begitu, berlangsung beberapa masa.
Lambat tapi mengasyikan.

Tapi permainan itu pada akhirnya akan selesai.
Saya harus turun dari sana dan mungkin naik ke permainan lain.
Rollercoaster mungkin?
Mengumpulkan seluruh keberanian untuk duduk di bangkunya yang kurang nyaman.
Mengencangkan sabuk pengaman, mengucap sepotong doa.
Lalu menutup mata dan pasrah mengikuti gerakannya.

saya ingin turun dari situ.

Dongeng Tentang Hujan dan Sore

Saya mengutip kalimat ini dari blog seorang teman.
Didi namanya. Saya biasa memanggilnya dengan sebutan "Abang".
Saya belum meminta izinnya ketika mem-paste nya di blog saya ini.
Tapi segera setelah saya tekan tombol 'terbitkan entri'

"Dalam sebuah kisah, sebuah hujan datang untuk menemui sore.
Kemudian mereka berdua bertemu, hujan dan sore.
Tetapi sore tidak sempat menemani hujan begitu lama.
Sore pergi ke tempat lain untuk menghormati waktu.
Hujan kesepian.
Akhirnya hujan pergi ke tempat lain yang tak pernah ia datangi.
Kebung bunga di belakang rumah.
(Dongeng tentang hujan dan sore)"


Ah- entah kenapa saya selalu suka caranya bercerita.
Kalau kamu suka juga dengan potongan cerita yang saya "curi" diatas,
silakan berkunjung ke blognya Bang Didi

Senin, 29 Agustus 2011

Sama

Selamat malam, hey kamu pemuja senja..

Bagaimana kamu bisa terus berada di sana?
Terkesima menatap Barat saat matahari berubah jingga.
Duduk diam tak beranjak sampai tak ada lagi sinar di batasnya?

Ah, mungkin sama seperti ku
Yang tak bosan menatap hujan.
Entah dari balik jendela atau dari bawah atap sebuah halte di pinggir jalan antara dua kota.

Ternyata waktu yang terlalui tak banyak beda.
Dan aku benci, ternyata rindu ku masih untuk mu.

Minggu, 28 Agustus 2011

Save The Last Dance For. Me

You can dance-every dance with the guy
Who gives you the eye,let him hold you tight
You can smile-every smile for the man
Who held your hand neath the pale moon light
But don't forget who's takin' you home
And in whose arms you're gonna be
So darlin' save the last dance for me

Oh I know that the music's fine
Like sparklin' wine,go and have your fun
Laugh and sing,but while we're apart
Don't give your heart to anyone
But don't forget who's takin' you home
And in whose arms you're gonna be
So darlin' save the last dance for me

Baby don't you know I love you so
Can't you feel it when we touch
I will never never let you go
I love you oh so much

You can dance,go and carry on
Till the night is gone
And it's time to go
If he asks if you're all alone
Can he walk you home,you must tell him no
'Cause don't forget who's taking you home
And in whose arms you're gonna be
Save the last dance for me

'Cause don't forget who's taking you home
And in whose arms you're gonna be
So darling,save the last dance for me
Save the last dance for me
Save the last dance for me.

Jumat, 01 April 2011

Hadiah

Dear kamu,
Bersama surat ini kukirimkan padamu sepotong senja--dengan angin, debur ombak, matahari terbenam, dan cahaya keemasan. Apakah kamu menerimanya dalam keadaan lengkap?

Seperti setiap senja di setiap pantai, tentu ada juga burung-burung, pasir yang basah, siluet batu karang, dan barangkali juga perahu lewat di jauhan. Maaf, aku tidak sempat menelitinya satu persatu. Mestinya ada juga lokan, batu yang berwarna-warni, dan bias cahaya cemerlang yang berkeretap pada buih yang bagaikan impian selalu saja membuat aku mengangankan segala hal yang paling mungkin kulakukan bersamamu meski aku tahu semua itu akan tetap tinggal sebagai kemungkinan yang entah kapan menjadi kenyataan.

Kukirimkan sepotong senja ini untukmu, dalam amplop yang tertutup rapat, dari jauh, karena aku ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata.

Sudah terlalu banyak kata di dunia ini, dan kata-kata, ternyata, tidak mengubah apa-apa. Aku tidak akan menambah kata-kata yang sudah tak terhitung jumlahnya dalam sejarah kebudayaan manusia.

Untuk apa? Kata-kata tidak ada gunanya dan selalu sia-sia. Lagi pula siapakah yang masih sudi mendengarnya? Di dunia ini semua orang sibuk berkata-kata tanpa peduli apakah ada orang lain yang mendengarnya. Bahkan mereka juga tidak peduli dengan kata-katanya sendiri. Sebuah dunia yang sudah kelebihan kata-kata tanpa makna. Kata-kata sudah luber dan tidak dibutuhkan lagi. Setiap kata bisa diganti artinya. Setiap arti bisa diubah maknanya. Itulah dunia kita.

Kukirimkan sepotong senja untukmu, bukan kata-kata cinta. Kukirimkan padamu sepotong senja yang lembut dengan langit kemerah-merahan yang nyata dan betul-betul ada dalam keadaan yang sama seperti ketika aku mengambilnya saat matahari hampir tenggelam ke balik cakrawala.

Akan kuceritakan padamu bagaimana aku mendapatkan senja itu untukmu.

Sore itu aku duduk seorang diri di tepi pantai, memandang dunia yang terdiri dari waktu. Memandang bagaimana ruang dan waktu bersekutu, menjelmakan alam itu untuk mataku. Di tepi pantai, di tepi bumi, semesta adalah sapuan warna keemasan dan lautan adalah cairan logam meski buih pada debur ombak yang menghempas itu tetap saja putih seperti kapas dan langit tetap saja ungu dan angin tetap saja lembab dan basah, dan pasir tetap saja hangat ketika kuusapkan kakiku ke dalamnya.

Kemudian tiba-tiba senja dan cahaya gemetar.
Keindahan berkutat melawan waktu dan aku tiba-tiba teringat padamu.
"barangkali senja ini bagus untukmu," pikirku. Maka kupotong senja itu sebelum terlambat, kukerat pada empat sisi lantas kumasukkan ke dalam saku. Dengan begitu keindahan itu bisa abadi dan aku bisa memberikannya padamu.

Setelah itu aku berjalan pulang dengan perasaan senang. Aku tahu kamu akan menyukainya karena kamu tahu itulah senja yang selalu kamu bayangkan untuk kita. Aku tahu kamu selalu membayangkan hari libur yang panjang, perjalanan yang jauh, dan barangkali sepasang kursi malas pada sepotong senja di sebuah pantai di mana kita akan bercakap-cakap sembari memandang langit sambil berangan-angan sambil bertanya-tanya apakah semua ini memang benar-benar telah terjadi. Kini senja itu bisa kamu bawa ke mana-mana.

Ketika aku meninggalkan pantai itu, kulihat orang-orang datang berbondong-bondong, ternyata mereka menjadi gempar karena senja telah hilang. Kulihat cakrawala itu berlubang sebesar kartu pos.

Semua itu telah terjadi dan kejadiannya akan tetap seperti itu. Aku telah sampai ke mobil ketika di antara kerumunan itu kulihat seseorang menunjuk-nunjuk ke arahku.

"Dia yang mengambil senja itu! Saya lihat dia mengambil senja itu!"

Kulihat orang-orang itu melangkah ke arahku. Melihat gelagat itu aku segera masuk mobil dan tancap gas.

"Catat nomernya! Catat nomernya!"

Aku melejit ke jalan raya. Kukebut mobilku tanpa perasaan panik. Aku sudah berniat memberikan senja itu untukmu dan hanya untukmu saja. Tak seorang pun boleh mengambilnya dariku. Cahaya senja yang keemasan itu berbinar-binar di dalam saku. Aku merasa cemas karena meskipun kaca mobilku gelap tapi cahaya senja tentu cukup terang dilihat dari luar. Dan ternyata cahaya senja itu memang menembus segenap cahaya dalam mobilku,sehingga mobilku itu meluncur dengan nyala cemerlang ke aspal maupun ke angkasa.

Dari radio yang kusetel aku tahu, berita tentang hilangnya senja telah tersebar ke mana-mana. Dari televisi dalam mobil bahkan kulihat potretku sudah terpampang. Aduh. Baru hilang satu senja saja sudah paniknya seperti itu. Apa tidak bisa menunggu sampai besok? Barangkali memang sudah waktunya dibuat senja tiruan yang bisa dijual di toko-toko,dikemas dalam kantong plastik dan dijual di kaki lima. Sudah waktunya senja diproduksi besar-besaran supaya bisa dijual anak-anak pedagang asongan di perempatan jalan.

"Senja! Senja! Cuma seribu tiga!"

Di jalan tol mobilku melaju masuk kota.Aku harus hati-hati karena semua orang mencariku. Sirene mobil polisi meraung-raung di mana-mana. Cahaya kota yang tetap gemilang tanpa senja membuat cahaya keemasan dari dalam mobilku tidak terlalu kentara. Lagi pula di kota, tidak semua orang peduli apakah senja hilang atau tidak. Di kota kehidupan berjalan tanpa waktu, tidak peduli pagi siang sore atau malam. Jadi tidak pernah penting senja itu ada atau hilang. Senja cuma penting untuk turis yang suka memotret matahari terbenam. Boleh jadi hanya demi alasan itulah senja yang kubawa ini dicari-cari polisi.

Sirene polisi mendekat dari belakang. Dengan pengeras suara polisi itu memberi peringatan.

"Pengemudi mobil Porsche abu-abu metalik nomor SG 19658 A, harap berhenti. Ini Polisi. Anda ditahan karena dituduh telah membawa senja. Meskipun tak ada aturan yang melarangnya, tapi berdasarkan..."

Aku tidak sudi mendengarnya lebih lama lagi. Jadi kubilas dia sampai terpental keluar pagar tepi jalan. Kutancap gas dan menyelip-nyelip dengan lincah di jalanan. Dalam waktu singkat kota sudah penuh raungan sirene polisi. Terjadi kejar-kejaran yang seru.Tapi aku lebih tahu seluk-beluk kota, jalanan dengan cahaya yang bernmain warna, gang-gang gelap yang tak pernah tercatat dalam buku alamat, lorong-lorong rahasia yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang di bawah tanah.

Satu mobil terlempar di jalan layang, satu mobil lain tersesat di sebuah kampung, dan satu mobil lagi terguling-guling menabrak truk dan meledak lantas terbakar.Masih ada dua polisi bersepeda motor mengejarku. Ini soal kecil. Mereka tak pernah bisa mendahuluiku, dan setelah kejar-kejaran beberapa lama, mereka kehabisan bensin dan pengendaranya cuma bisa memaki-maki. Kulihat senja dalam saku bajuku. Masih utuh. Angin berdesir. Langit semburat ungu. Debur ombak menghempas ke pantai. Hanya padamulah senja ini kuserahkan.

Tapi, polisi ternyata tidak sekonyol yang kusangka. Di segenap sudut kotak mereka telah siap siaga. Bahkan aku tak bisa membeli makanan untuk mengisi perutku. Bahkan di langit tanpa senja, helikopter mereka menyorotkan lampu di setiap celah gedung bertingkat. Aku tersudut dan akhirnya nyaris tertangkap. Kalau saja tidak ada gorong-gorong yang terbuka.

Mobilku sudah kutinggal ketika memasuki daerah kumuh itu. Aku berlari di antara gudang, rumah tua,tiang serta temali. Terjatuh di atas sampah, merayapi tangga-tangga reyot, sampai seorang gelandangan menuntunku ke suatu tempat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidupku.

"Masuklah," katanya tenang, "disitu kamu aman.

Ia menunjuk gorong-gorong yang terbuka itu. Ada tikus keluar dari sana. Banya bacin dan pesing. Kutengok ke bawah. Kulihat kelelawar bergantungan. Aku ragu-ragu.Namun deru helikopter dengan lampu sorotnya yang mencari-cari itu melenyapkan keraguanku.

"Masuklah, kamu tidak punya pilihan lain."

Dan gelandangan itu mendorongku. Aku terjerembab jatuh. Bau busuknya bukan main. Gorong-gorong itu segera tertutup dan kudengar gelandangan itu merebahkan diri di atasnya. Lampu sorot helikopter menembus celah gorong-gorong tapi tak cukup untuk melihatku. Kurabah senja dalam kantongku, cahayanya yang merah keemas-emasan membuat aku bisa melihat dalam kegelapan. Aku melangkah dalam gorong-gorong yang rupanya cukup tinggi juga. Kusibukkan kelelawar bergantungan yang entah mati entah hidup itu. Kulihat cahaya putih di ujung gorong-gorong. Air busuk mengalir setinggi lutut, namun makin ke dalam makin surut. Di tempat yang kering kulihat anak-anak gelandangan duduk-duduk maupun tidur-tiduran, mereka berserakan memeluk rebana dengan mata yang tidak memancarkan kebahagian.

Aku berjalan terus melangkahi mereka dan coba bertahan. Betapa pun ini lebih baik daripada harus menyerahkan senja.

Di ujung gorong-gorong,di temapt cahaya putih itu, ada tangga menurun ke bawah. Kuikuti tangga itu. Cahaya semakin terang dan semakin benderang. Astaga. Kamu boleh tidak percaya, tapi kamu akan terus membacanya. Tangga itu menuju ke mulut sebuah gua, dan tahukah kamu ketika aku keluar dari gua itu aku ada di mana? Di tempat persisi sama dengan tempat di mana aku mengambil senja itu untukmu. Sebuah pantai dengan senja yang bagus:ombak,angin,dan kepak burung? Tak lupa cahaya keemasan dan bias ungu pada mega-mega yang berarak bagaikan aliran mimpi. Cuma saja tidak ada lubang sebesar kartu pos. Jadi, meskipun persis sama,tapi bukan tempat yang sama.

Aku berjalan ke tepi pantai. Tenggelam dalam guyuran alam yang perawan. Nyiur tentu saja, matahari, dan dasat lautan yang bening dengan lidah ombak yang berdesis-desis. Tak ada cottage , tak ada barbeque, tak ada marina.

"semua itu memang tidak perlu. Senja yang bergetar melawan takdir membiaskan cahaya keemasan ke tepi semesta. Aku sering malu sendiri melihat semua itu. Apakah semua itu mungkin diterjemahkan dalam bahasa?"

Sambil duduk di tepi pantai aku berpikir-pikir, untuk apakah semua ini kalau tidak ada yang menyaksikannya? Setelah berjalan ke sana ke mari aku tahu kalau dunia dalam gorong-gorong ini kosong melompong. Tak ada manusia, tak ada tikus, apalagi dinosaurus. Hanya burung yang terkepak, tapi ia sepertinya bukan burung yang bertelur dan membuat sarang. Ia hanya burung yang dihadirkan sebagai ilustrasi senja. Ia hanya burung berkepak dan berkepak terus disana. Aku tak habis pikir, alam seperti ini dibuat untuk apa? Untuk apa senja yang bisa membuat seseorang ingin jatuh cinta itu jika tak ada seekor dinosaurus pun menikmatinya? Sementara di atas sana orang-orang ribut kehilangan senja....

Jadi, begitulah, kuambil juga senja itu. Kukerat dengan pisau Swiss yang selalu kubawa, pada empat sisinya, sehingga pada cakrawala itu terbentuk lubang sebesar kartu pos. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan aku melangkah pulang. Bumi berhenti beredar di belakangku, menjadi kegelapan yang basah dan bacin. Aku mendaki tangga kembali menuju gorong-gorong bumiku yang terkasih.

Sampai di atas, setelah melewati kalelawar bergantungan,anak-anak gelandangan berkaparan, dan air setinggi lutut, kulihat polisi-polisi helikopter sudah pergi. Gelandangan yang menolongku sedang tiduran di bawah tiang listrik sambil meniup saksofon.

Aku berjalan mencari mobilku. Masih terparkir dengan baik di supermarket. Nampaknya bahkan baru saja dicuci. Sambil mengunyah pizza segera kukebut mobilku menuju pantai. Dengan dua senja di saku kiri dan kanan, lengkap dengan matahari,laut,pantai, dan cahaya keemasannya masing-masing, mobilku bagai memancarkan cahaya Ilhai. Sepanjang jalan layang, sepanjang jalan tol, kutancap gas dengan kecepatan penuh...

Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi kemudian. Kupasang senja yang dari gorong-gorong pada lubang sebesar kartu pos itu dan ternyata pas. Lantas kukirimkan senja yang asli ini untukmu.

Aku ingin mendapatkan apa yang kulihat pertama kali: senja dalam arti yang sebenarnya?bukan semacam senja yang ada di gorong-gorong itu.

Kini gorong-gorong itu betul-betul menjadi gelap. Pada masa yang akan datang orang-orang tua akan bercerita pada cucunya tentang kenapa gorong-gorong menjadi gelap. Meraka akan berkisah bahwa sebenarnya ada alam lain di bawah gorong-gorong dengan matahari dan rembulannya sendiri, namun semua itu tida lagi karena seorang telah mengambil senja untuk menggantikan senja lain di atas bumi. Orang-orang tua itu juga akan bercerita bahwa senja yang asli telah dipotong dan diberikan oleh seseorang.

Terimalah sepotong senja itu, hanya untukmu. Awas hati-hati dengan lautan dan matahari itu, salah-salah cahayanya membakar langit dan kalau tumpah airnya bisa membanjiri permukaan bumi.

Dengan ini kukirimkan pula kerinduanku padamu, dengan cium, peluk, dan bisikan terhangat, dari sebuah tempat yang paling sunyi di dunia.

Cerpen Pililihan Kompas 1993
Seno Gumira Ajidarma
(dengan sedikit perubahan)



PS: Selamat ulang tahun. Semoga kamu selalu bahagia. Ini hadiah ulang tahun dari aku di tahun ini yaa.. Semoga kamu suka :)

Kamis, 24 Februari 2011

peluk

saya hanya butuh pelukan saat ini.
hey, kamu.. bisa kah kau datang mendekat dan memberikan pada ku satu?
satu pelukan. singkat saja tak apa.
tapi janji kamu akan memelukku dengan erat ya.
satu pelukan. sebentar saja tak masalah.
karena saya butuh itu sekarang.

saat ruangan putih ini memenjarakan saya.
sebidang papan tulis penuh coretan entah apa diletakan di depan meja
tumpukan kertas di kanan kiri
dan satu cangkir bekas kopi di pagi hari menyesakkan semuanya

saya lupa rasa nya dipeluk.
bahkan mungkin enggan untuk sekedar memeluk.
dan malam ini boleh kah saya meminta pelukan mu?
satu saja.
erat dan singkat.
lalu kamu boleh kembali ke sana.
dan melakukan apa saja.